Konflik
Antar Agama di Ambon:
Suatu Analisa Hubungan antar Etnik
Indonesia
merupakan salah satu negara kepulauan yang diwarnai dengan masyarakat majemuk
di mana terdapat beragam identitas etnik, suku, adat, ras, dan agama, serta
bahasa. Di Indonesia terdapat 300 lebih kelompok suku bangsa yang sifatnya
berbeda dari kelompok lain. Di samping hal itu, mereka mempunyai identitas yang
berbeda dan menggunakan lebih dari 200 bahasa khas. Kira-kira 210 juta penduduk
Indonesia tersebar di lebih dari 14.000 pulau dan kurang lebih 1,5 persen
jumlah penduduknya hidup dengan cara tradisional. # DI Indonesia juga terdapat
beragamnya agama. Islam adalah agama mayoritas yang dipeluk oleh sekitar 85,2%
penduduk Indonesia, sisanya beragama Protestan (8,9%), Katolik (3%), Hindu
(1,8%), Buddha (0,8%), dan lain-lain (0,3%). Oleh karena itu, masyarakat
Indonesia dapat disebut sebagai masyarakat yang manjemuk karena terdiri dari
beragam etnik, suku, adat, ras, dan agama, serta kebudayaan sebagai identitas
yang berbeda-beda. Namun, dalam rangka menjaga kesatuan, Indonesia memiliki
semboyan nasional yaitu “Bhinneka tunggal ika” yang artinya berbeda-beda tetapi
satu. Semboyan nasional Indonesia ini merupakan satu bentuk keberagaman yang
terintegrasi yang mengidentifikasikan bentuk negara Indonesia. Selain itu,
bahasa Indonesia juga merupakan bentuk kesatuan yang mengintegrasikan
masyarakat sebagai satu identitas yaitu bangsa Indonesia.
Keberagaman
identitas dan sifat kemajemukan menjadi keunikan identitas atau suatu
kebanggaan bagi masyarakat Indonesia. Namun, kondisi yang majemuk dengan
beragamnya etnik, suku bangsa, agama, dan kebudayaan sebagai identitas
menjadikan masyarakat rentan dengan konflik. Rentannya konflik merupakan sebab
dari pertentangan kebudayaan antar identitas. Setiap identitas etnik atau agama
memiliki kebudayaan masing-masing yaitu pandangan, prinsip, dan cara menjalani
hidup, dan tujuan yang berbeda. Dalam mencapai tujuannya, masing-masing
kelompok memiliki cara dan kepentingannya yang berbeda namun harus bertemu
dalam ruang kompetisi. Diawali dengan pertentangan kepentingan yang dimiliki
setiap identitas etnik atau agama tersebut kemudian dapat memunculkan konflik.
Konflik dapat terjadi pada antar kelompok dengan identitas yang berbeda yang
saling berinteraksi dalam wilayah yang sama. Dari interaksi tersebut, pasti
menimbulkan persepsi terhadap kelompok-kelompok tertentu yang terkadang positif
dan negatif karena perbedaan kepentingan tersebut. Oleh karena itu, sulit untuk
masyarakat Indonesia untuk menghindari konflik terutama konflik antar etnik
termasuk suku bangsa, adat, atau agama.
Salah
satu konflik yang terjadi di Indonesia yaitu konflik di Ambon. Konflik yang
terjadi di Ambon merupakan salah satu konflik yang didasarkat atas identitas
agama, yaitu Islam dan Kristen. Konflik ini terjadi dengan adanya kerusuhan
sosial dimulai dari akhir jaman Soeharto berlanjut hingga tahun 2000 namun saat
ini sudah cukup mereda. Pada beberapa artikel menyebutkan bahwa konflik yang
terjadi di Ambon bukan hanya merupakan konflik antar identitas agama, tetapi
juga konflik yang didasarkan atas adanya kesenjangan ekonomi, pihak yang
berkonflik adalah kelas atau kelompok sosial ekonomi. Hal ini menunjukkan bahwa
dalam hubungan antara identitas agama Islam dan Kristen di Ambon yang
menimbulkan konflik ini bukan hanya sebagai konflik antar agama tetapi juga ada
faktor lain yaitu ekonomi dan sosial yang menjadi penyebab konflik. Oleh karena
itu, penulisan makalah kali ini memiliki tujuan untuk mencoba melihat penyebab
konflik antar agama di Ambon melalui analisa teori sosiologi mengeani hubungan
antar etnik yaitu teori interaksionisme simbolik sebagai konstruksi sosial dari
realitas kelompok etnik serta dimensi hubungan antar etnik.
Deskripsi Kasus
Secara
garis besar, konflik di Ambon dapat dibagi dalam empat babak yaitu:
Babak
I: Januari-Maret 1999. Peristiwa diawali konflik antarpreman Batumerah (Muslim)
dan Mardika (Kristen) pada tgl. 19 Januari 1999, dalam sekejab menimbulkan pertikaian
antarkelompok agama dan sukubangsa, dan meledak menjadi kerusuhan besar di
Ambon. Kerusuhan itu bahkan meluas ke seluruh Pulau Ambon. Kota dan desa-desa
di Ambon bertebaran dengan puing-puing bangunan rumah ibadat, rumah tinggal dan
toko yang dibakar serta diratakan dengan tanah. Kota Ambon dan sebagian
desa-desa sekitarnya tersegregasi ketat dan terbagi dalam 2 wilayah: Islam dan
Kristen. Pemerintah daerah, aparat keamanan, pemuka-pemuka agama dan adat
kemudian sibuk melakukan upaya-upaya rekonsiliasi dengan mengadakan upacara
panas pela dilakukan di sana-sini. Sejak akhir Maret sampai pertengahan Juli
1999, Ambon relatif reda dari kerusuhan besar.
Babak
II: Juli-November 1999. Suasana Ambon tenang-tenang tegang bersama atraksi
kampanye menjelang pemilu. Usai Pemilu, ketegangan meningkat dan tiba-tiba
pecah di daerah Poka, dan meluas ke bagian lain di Ambon. Segregasi semakin
ketat. Di Ambon hanya tersisa 1 desa (Wayame) yang masyarakatnya tetap berbaur.
Sebutan merah diganti dengan Obet (Robert) dan putih menjadi Acang (Hasan).
Babak
III: akhir Desember 1999-pertengahan Januari 2000. Memasuki bulan puasa, awal
bulan Desember 1999, konflik mereda, namun setelah kunjungan Presiden dan Wakil
Presiden pada akhir bulan Desember 1999 kerusuhan menguat. Selepas kunjungan
Wapres berikutnya di bulan Januari 2000 terjadi lagi kerusuhan.
Babak
IV: April 2000-Agustus 2000. Sejak Februari-Maret 2000, sebenarnya situasi di
Ambon sudah tenang. Upaya rekonsiliasi dilakukan di beberapa tempat: di Jakarta
(oleh tim rekonsiliasi pusat), di Belanda atas inisiatif dan undangan
pemerintah Belanda, di Bali oleh Pemerintah Inggris lewat Perwakilan PBB, dan
di atas kapal-kapal TNI-AL dalam program Surya Bhaskara Jaya (SBJ). Sehari
setelah kunjungan Wakil Presiden ke Ambon dalam rangka program SBJ, diawali
peristiwa makan Patita antara kelompok milisia Batumerah (Muslim) dengan
Kudamati (Kristen, kerusuhan mulai merebak lagi dan menjadi berkepanjangan
dengan cetusan berbagai dan di bulan Juni-Juli dengan adanya ribuan pasukan
Jihad di Ambon. Sebagian desa-desa Kristen habis rata dengan tanah. Terdapat
Jaringan Kerja Relawan. Relawan Muslim sangat sulit berkomunikasi dengan yang
Kristen, karena takut terhadap tekanan dari jihad. Reaksi dari masyarakat
Kristen lebih membutuhkan intervensi asing untuk pengamanan.
Di
samping keempat garis besar, konflik yang terjadi di Ambon sebenarnya memiliki
latar belakang lain yaitu aspek sosial ekonomi. Konflik sosial ekonomi yang
terjadi di Ambon antara warga Muslim—baik pribumi maupun pendatang, yang
perkonomiannya dianggap relatif baik karena rata-rata berprofesi sebagai
pedagang serta tiga puluh tahun terakhir lebih banyak berperan dalam
pemerintahan—dan kelompok Kristen yang merasa termarjinalisasi oleh
keadaan-keadan tersebut.
Pada
politik jaman penjajahan, Belanda membuat segregasi terhadap penduduk Hindia
Belanda ke dalam empat kelas, yaitu bangsa Eropa, pribumi beragama Kristen,
bangsa Timur Asing dan Pribumi non-Kristen. Hal ini menyebabkan warga Islam
Indonesia termasuk Ambon merasa termarjinalisasi. Masyarakat Ambon dan Maluku
memang mengalami semacam segregasi wilayah berdasarkan agama (Kristen dan
Muslim) sebagaiwarisan sistem kolonialisme pemerintah Belanda. Warga Islam
dengan kondisi yang marjinal tetap dapat bertahan dengan bekerja sebagai
pedagang dan banyak pedagang datang dari sekitar Maluku yang menyebabkan Islam
semakin bertahan. Seusai jaman penjajahan dan berganti pemerintahan Soeharto
yaitu Orde Baru, kebijakan saat itu telah memarjinalisasi warga Kristen karena warga
Islam sebagai pedagang banyak memunculkan intelektual ekonomi yang menduduki
posisi dalam pemerintahan. Hal ini menyebabkan kebencian warga Kristen terhadap
warga Islam. Kebencian masih bisa diredakan karena pada saat itu masih sering
dilakukan pela gandong untuk meningkatkan keharmonisan hubungan antar agama di
Ambon. Namun, selama Orde Baru, kebudayaan pela gandong mulai digantikan dengan
pendekatan keamaanan (ABRI) di mana jika terjadi konflik maka akan dikenakan
sanksi yang berat. Setelah jatuhnya pemerintahan Soeharto, kebencian yang
terpendam akhirnya menjadi konflik kerusuhan yang besar.
Upaya-upaya
rekonsiliasi tetap dilakukan. Namun, upacara panas pela menjadi tidak efektif
karena hanya 20% saja yang merasa memiliki ikatan pela gandong, pendatang tidak
merasa memiliki ikatan pela gandong tersebut. Selain itu pelaku utama konflik
seperti preman, milisia, kapitan-kapitan dan panglima-panglima perangnya tidak
mengikuti upacara panas pela.# Kesadaran kebersamaan masyarakat terus
diadudomba melalui istilah merah putih, dan Acang Obet. Pernyataan para pemuka
agama tidak dilakukan dalam pengadaan forum tetapi dilakukan melalui cemooh
dalam media televisi yang menjadikan media sebagai pemecah belah masyarakat
Ambon. Hal ini menunjukkan bahwa konflik yang terjadi di Ambon tidak murni
berasal dari pihak dalam Ambon, tetapi adanya ikut campur pihak luar Ambon yang
memiliki kepentingan dan membiayai konflik tersebut menjadi pemicu konflik.
Analisa Kasus
Teori
Interaksi Simbolik: Konstruksi Sosial Realita Kelompok Etnik
Dalam
buku the Sociology of Ethnicity oleh Siniša Malešević 2004, Bab 5, membahas
mengenai teori interaksi simbolik yang merupakan konstruksi sosial realita
kelompok etnik. Untuk menganalisa konflik antar agama yang terjadi di Ambon
dapat digunakan teori interaksi simbolik karena dijelaskan bahwa dalam proses
interaksi dapat membangun konstruksi sosial yang jika terjadi kesenjangan di
antara kedua kelompok etnik dapat menimbulkan konflik.
Hubungan
antar etnik merupakan bentuk dari interaksi individu dan kelompok di mana
terdapat interaksi simbolik sebagai kuncinya. Para interaksionis melihat agen
memiliki pengaruh dalam struktur yang dinyatakan dalam simbol dan nilai,
kemudian juga mempengaruhi kepentingan material dan politis oleh kelompok
etnik. Hubungan antar etnik berkembang sesuai dengan pola yang mengatur
interaksi antar kelompok tersebut. Jika satu individu berkompetisi dengan
kelompok etnik lain dalam kepentingannya maka akan terjadi konflik. Melalui
interaksi masyarakat dapat memberikan status yang merupakan arti dari kelompok
yang menjadi subordinat dan superordinat serta status yang dapat memicu
kompetisi dan konflik. Dimulai dengan interaksi konflik antar kelompok etnik
dapat terjadi, namun dengan interaksi juga konflik dapat diredakan melalui
akomodasi atau asimilasi antar kelompok etnik.
Interaksionis
memandang bahwa manusia melalui pengalamannya dapat memberikan interpretasinya
sendiri serta menggunakan definisi situasi dalam melihat pengalamnnya tersebut.
Definisi situasi dapat bersifat kolektif karena interaksi yang dilakukan dalam
hubungan sosial antar individu. Dalam hubugan sosial juga dapat timbul
prasangka kelompok yang berasal dari kelompok subordinat yang bertentangan
dengan dominasi kelompok tertentu. Pertentangan dapat terjadi karena adanya
nilai dan norma yang didominasi oleh kelompok superordinat. Namun, prasangka
dapat menjadi fungsional jika dapat disosialisasikan sebagai peran politisi
dalam mengatur hegemoni. Perbedaan antara kelompok subordinat dan superordinat
yang cenderung dapat menimbulkan konflik, dapat dipertahankan melalui memori
kolektif. Setting sejarah dan memori kolektif menentukan kelompok tertentu
memiliki status tertentu dalam suatu struktur.
Melalui
interkasionise simbolik, hubungan antar etnik dapat dipahami secara mendalam,
karena manusia sebagai agen dapat menentukan struktur. Melalui definisi situasi
dan memori kolektif oleh sekelompok etnik, struktur dapat terbentuk karena
hubungan sosial antar kelompok etnik tersebut. Konsep etnikitas menjadi jelas,
karena adanya etnikitas merupakan hasil dari interpretasi sekelompok (definisi
kolektif). Dalam hal ini, kelompok etnik dapat menginterpretasikan kelompok
etnik lain dan membedakan kelompok subordinat dan superordinat sehingga
struktur inipun merupakan hasil dari konstruksi interaksi tersebut. Dalam
konstruksi yang dilakukan oleh kelompok-kelompok etnik, dapat juga memicu
konflik jika terdapat prasangka yang bertentangan namun juga bisa diatasi dengan
asimilasi atau bentuk kerja sama lainnya melalui interaksi antar kelompok
etnik.
Jika
dilihat melalui sejarah dalam kehidupan di Ambon, kelompok identitas Kristen
pada awalnya memiliki posisi yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok
identitas Islam karena segregasi yang diberikan oleh Belanda pada jaman
penjajahan. Pemerintahan Belanda di sini pada masa kolonial sebagai agen
memberikan pengaruhnya dalam mengatur interaksi antara Kristen yang dianggap
lebih unggul dijadikan sebagai kelompok superordinat dan Islam sebagai kelompok
subordinat. Melalui interaksi yang terjadi, kelompok Islam menjadi termarjinal
dalam struktur masyarakat Ambon sehingga memiliki rasa kompetisi ekonomi dengan
kelompok Kristen. Kompetisi itu ditunjukkan melalui kepentingan kelompok Islam
yang bekerja sebagai pedagang untuk tetap bertahan di Ambon. Namun, banyaknya
pendatang dari luar yang juga menjadi pedagang Islam di Ambon. Seiring dengan
berlalunya masa koloni Belanda hingga sampai pada masa Orde Baru, kelompok Islam
menjadi lebih memiliki posisi tinggi dibandingkan dengan kelompok Kristen
karena banyak pedagang Islam yang menjadi intelektual ekonomi yang akhirnya
banyak diposisikan pada pemerintahan. Pedagang Islam banyak meraih kondisi
ekonomi yang baik. Dalam hal ini pemerintah pusat jaman Orde Baru sebagai agen
dalam membentuk struktur dalam masyarakat di Ambon yang menjadikan kelompok
Islam memiliki posisi superordinat dan kelompok Kristen di posisi subordinat.
Karena merasa adanya kesenjangan antara kelompok Kristen dan Islam maka
timbullah konflik yang membawa agama menjadi simbol sebagai penyebab konflik
yang awalnya merupakan hanya satu bentuk provokasi oleh sebagian orang. Namun,
karena adanya persamaan penilaian dan perasaan senasib bagi kedua pihak, maka kemudian
timbul kerusuhan. Kerusuhan-kerusuhan akibat konflik yang terjadi juga
menyebabkan adanya penanaman nilai sentimen antar agama.
Konflik
antar agama yang terjadi di Ambon jika dianalisa melalui interaksionisme
simbolik merupakan bentuk dari konstruksi pemerintah sebagai agen yang
menentukan struktur masyarakat Ambon dalam kelas supeordinat dan subordinat.
Pada masa pemerintahan kolonial Belanda, kelompok Kristen memiliki kedudukan
yang lebih tinggi sedangkan pada masa pemerintahan Orde Baru, kelompok Islam
memiliki kondisi ekonomi yang lebih baik yang menimbulkan kesenjangan sosial.
Dalam struktur masyarakat yang awalnya dikonstruksi oleh pemerintah,
menimbulkan definisi kolektif yang kemudian mekonstruksi keadaan struktur
masyarakat juga. Adanya kondisi ekonomi yang berbeda menimbulkan interpretasi
atau definisi situasi pada satu kelompok bahwa terjadi ketidakadilan dan
kesenjangan dalam aspek ekonomi dan sosial. Konstruksi ketidakadilan ini yang
kemudian menjadi konflik. Namun, konflik lebih disimbolkan sebagai konflik
antar agama.
Konflik
antara kelompok Islam dan Kristen yang terjadi merupakan hasil dari pandangan
setiap kelompok dalam kehidupannya bersama. Adanya perbedaan subordinat dan
superordinat yang ditunjukkan dengan kesenjangan ekonomi membentuk interpretasi
setiap kelompok dalam memberikan pandangan nilai terhadap kelompok lain. Hal
itu yang menjadikan adanya prasangka negatif kelompok Kristen terhadap kelompok
Islam di Ambon pada jaman Orde Baru. Posisi kelompok Islam sebagai superordinat
dengan kondisi ekonomi lebih baik karena sebagai pedagang, terlebih lagi
mendapatkan posisi pada pemerintahan, menjadikan mereka melakukan dominasi
terhadap kelompok Kristen sebagai subordinat. Oleh karena itu, konflik akhirnya
timbul karena adanya definisi situasi yang secara kolektif diartikan sebagai
kesenjangan ekonomi. Kesenjangan ekonomi membentuk status kelompok Islam
memiliki kondisi ekonomi lebih baik dibandingkan kelompok Kristen dalam
struktur masyarakat di Ambon.
Sebelum
terjadi konflik, terdapat upacara pela gandong dalam masyarakat di Ambon
sebagai symbol dan nilai untuk menyatukan perbedaan agama. Namun, karena
banyaknya pendatang dari luar, maka upacara pela gandong tersebut tidak efektif
menyatukan masyarkat di atas perbedaan agama yang akhirnya tidak dapat meredam
konflik. Hal ini menunjukkan bahwa konflik yang terjadi di Ambon tidak hanya
dikonstruksi oleh pemerintah namun merupakan konstruksi dari provokator
kelompok slamI maupun provokator kelompok Kristen juga para pendatang. Beberapa
konsiliasi juga telah dilakukan namun tidak merubah sikap antar kelompok agama
karena persepsi terhadap kelompok lain negatif tetap berlanjut diprovokasi
sebagai bentuk konstruksi hubungan antar agama. Munculnya sentimen-sentimen
agama menjadikan konflik tetap berlanjut, namun tidak hanya pada antar agama,
tetapi juga menyebabkan adanya sentimen antar etnik yang dibuktikan oleh adanya
istilah anti-BBM (Bugis, Buton, Makasar). Sentimen agama hingga etnik ini hanya
dijadikan simbol dalam konflik yang diangkat sebagai penyebab konflik oleh
sebagian orang yang melakukan provokasi sebagai agen dalam konstruksi konflik
ini. Namun, dibalik simbol agama dan etnik, terdapat penyebab sesungguhnya
yaitu adanya kesenjangan sosial dan ekonomi yang sebenarnya merupakan konstruksi
pemerintah sebagai agen dalam mekonstruksi struktur ekonomi dan sosial dalam
masyarakat di Ambon.
Dimensi Hubungan antar Etnik
Jika
dilihat dalam dimensi hubungan antar etnik, kelompok etnik memiliki pola-pola
hubungan tertentu yang menggambarkan relasi antara kelompok etnik dengan
kelompok-kelompok lain di sekitarnya. Pertama adalah pola hubungan horizontal,
yaitu hubungan kelompok etnik dengan sesama kelompok etnik lainnya. Kedua
adalah pola hubungan vertikal, yaitu hubungan antara kelompok etnik dengan
negara/regulasi negara yang menciptakan relasi-relasi tertentu.
Konflik
yang terjadi di Ambon memiliki pola hubungan horizontal di mana ada hubungan
antara kelompok Kristen dan kelompok Islam serta hubungan antar etnik yaitu
hubungan penduduk asli Ambon dan pendatang. Konflik terjadi dalam dimensi
horizontal karena adanya kesenjangan ekonomi di antara kedua kelompok Kristen
dan kelompok Islam serta pendatang. Namun, konflik yang terjadi juga merupakan
hasil dimensi vertikal antara masyarakat dan pemerintah, di mana sistem
pemerintahan mekonstruksi struktur yang ada dalam masyarakat di Ambon sehingga
tersegregasi antar kelompok yang membedakan status dan kondisi ekonomi di
antara keduanya. Hal ini dibuktikan pada masa kolonial Belanda, kelompok
Kristen menjadi superordinat karena dianggap lebih unggul menurut pemerintahan
Belanda dan kelompok Islam menjadi subordinat yang bekerja sebagai pedagang
untuk mempertahankan hidupnya. Namun, pada pemerintahan Orde Baru, kelompok
Islam lebih dianggap sebagai superordinat karena kondisi ekonomi yang lebih
baik dari hasil berdagang dan kemudian ditempatkan pada posisi pemerintahan di
atas kelompok Kristen sebagai subordinat. Dalam hal ini, hubungan horizontal
dengan adanya ketimpangan yang secara tidak langsung dipengaruhi oleh hubungan
vertikal menjadi penyebab terjadinya konflik.
Kesimpulan
Konflik
antar agama yang terjadi di Ambon merupakan konflik yang awalnya ditimbulkan
oleh perkelahian antar preman dari dua daerah yang berbeda yang juga merupakan
daerah segregasi Islam dan Kristen. Hal ini kemudian menjadikan sebagian besar
umat Islam dan Kristen terprovokasi sehingga menimbulkan kerusuhan besar.
Namun, di balik konflik kerusuhan tersebut, yang menjadi penyebab utama konflik
antar agama di Ambon yaitu apa yang menjadi faktor pembentuk segregasi antara
umat Islam dan Kristen di Ambon sehingga terbagi-bagi menjadi dua daerah yang
tersegregasi berdasarkan perbedaan agama tersebut.
Sesuai
dengan data temuan konflik antar agama di Ambon, ternyata yang menjadi penyebab
segregasi masyarakat di Ambon berdasarkan agamanya adalah pengaruh dari
pemerintahan pusat. Disebutkan bahwa segregasi yang terjadi antara Kristen dan
Islam awalnya dibentuk oleh pemerintahan masa penjajahan Belanda. Pada masa
penjajahan Belanda, pemerintahan lebih memihak dan menganggap unggul kelompok
yang beragama Kristen. Hal ini mengakibatkan adanya ketimpangan yang dirasakan
oleh kelompok beragama Islam yang kemudian hanya bekerja menjadi pedagang.
Seiring berjalannya masa hingga sampai pada masa Orde Baru, kelompok beragama
Islam menjadi lebih sukses dari berdagang dengan kondisi yang lebih baik dari
kelompok beragama Kristen, banyak juga pendatang dari sekitar Maluku untuk
berdagang di Ambon. Selain itu muncul intelektual-intelektual ekonomi di mana
pada masa Orde Baru, pemerintah mengangkat intelektual ekonomi dari kelompok
beragama Islam tersebut dalam pemerintahan sehingga lebih dianggap unggul.
Dalam hal ini, terjadi ketimpangan bagi kelompok beragama Kristen. Pada
dasarnya ketimpangan terjadi tidak membawa perbedaan agama, namun sebagian
besar adalah kelompok beragama sama.
Dengan
analisa teori interaksionisme simbolik mengenai hubungan antar etnik, perbedaan
yang terjadi antara umat Islam dan Kristen di Ambon pada awalnya merupakan
hasil konstruksi pemerintah, baik pada masa penjajahan Belanda sampai pada masa
pemerintahan Orde Baru. Dalam hal ini, pemerintah merekonstruksi struktur yang
ada pada masyarakat di Ambon sampai menimbulkan ketimpangan yang dirasakan
sebagian besar kelompok agama yang berbeda. Kemudian ketimpangan tersebut
diprovokasi sebagian orang sehingga menimbulkan konflik antar umat beragama
secara menyeluruh pada masyarakat di Ambon
1 comments:
thanks infonya
pas bgt ma pjelasan dari papaku..
Posting Komentar